Penyair ataupun tokoh sastrawan arab
tidak pernah terlepaskan dari aspek kesejarahanya. Untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai biografi sastrawan yang hidup pada masa abasiah
kedua ini, penyusun perlu sedikitnya memafarkan sedikit silsilah
keluarga dan mengapa ia disebut sebagai Abu al-A’la al-Ma’ari. Nama
aslinya adalah Ahmad bin Abdullah bin sulaiman bin muhamad at-tanukhi,
julukan Abu ‘l-‘Ala’. Ini di hubungkan denganAl-Ma’ari. Yang diambil
dari nama kota kelahiranya, Ma’arratun Nukman, jadilah Abu al-A’la
al-Ma’ari. Para penulis dan sastrawan arab biasanya menggunakan nama
sebutan Abu al-A’la. Kakaknya yang bernama Muhammad mendapat Julukan Abu
‘l Majid. Mengenai julukan itu dengan rendah hati ia member komentar
dalam syairnya sebagai berikut:
دعيت أبا العلاء وذاك مين # ولكنّ الصّحيح أبو النزول
Aku dipanggil dengan julukan Abu
‘l-‘Ala’ (yang tinggi) itu hanya bohong belaka,
Yang benar ialah Abu ‘n-Nuzul (yang rendah)
dari bait syair diatas kita bisa melihat cerminan kehidupan penyair ini
yang tawadu kendati ia seorang tokoh yang besar tetapi ia tidak ingin
melihatkan kebesarannya kendati lewat nama atau julukannya tersebut.
Ayahnya merupakan keturunan bani Sulaiman keluarga yang terpandang dan
terpelajar di Ma’aaratun Nukman, yang bernama Abdullah bin sulaiman
merupakan seorang tokoh yang terkemuka dalam masyarakat, ahli bahasa,
sastrawan dan penyair. Mempunyai dua saudara kandung yang merupakan para
sastrawan yang terkenal di Ma’aarah saat itu, yakni; Abu’l Majid
Abdullah dan abu’l Haitsam Abdul Wahid.sedangkan tentang ibunya tuidak
diketahui dengan jelas dan tidak banyak cerita. Hanya saja ketika saat
ia berada di bagdad ada kabar bahwa bibunya meninggal dan ia sanagt
menyesalinya karena tidak bias menemui ibunya saat setibanya ia di
Mara’aah.
1. Biografi Abu al-A’la al-Ma’ari
Abu al-A’la al-Ma’ari adalah seorang penyair arab terkemuka. Ia lahir di
sebuah kota kecil bagian utara Suriah yang berjarak 70 km darisebelah
selatan Aleppo atau sebelah utara Hims, tepatnya pada hari jum’at
tanggal 28 Rabiul awal 363 H (26 Desember 973 M). Pada usia empat tahun,
ia terserang penyakit cacar sehingga menyebabkan dia kehilangan
pengelihatan. Meskipun cacat (tuna netra), ia terus melanjutkan studinya
dan menjadi penyair sekaligus menjadi filosof ternama yang mempunyai
pengaruh besar pada masanya dan itu berlanjut sampai masa modern
terutama seorang tokoh sastra yang bernama Toha Husain yang menjadi
spesialist dalam mentelaah karya dari Ma’ari . Selama lima belas tahun,
ia mengajar Sastra dan Filologi Arab. Selama periode ini, popularitasnya
sebagai penyair dan ilmuan tersebar luas keseluruh jazirah arab yang
membentang dari irak sampai magribi. Kemudian, ia pindah ke Bagdad pada
usianya yang sudah berkepala tiga tidaklaian karena mengunjungi
perpustakaan darul Ilmi atau darul Kutub karena kecintaanya menelaah
buku-buku. Perpindahannya ke Bagdad menjadi momen terpenting dalam
sejarah hidupnya yang selanjutnya Setelah setahun tujuh bulan tinggal di
Bagdad telah menjadi sebuah koridor pemisah antara dua priode
kehidupannya, ia kembali ke kampung halamannya dan mulai menjalani
kehiduban sebagai seorang asketik atau orang zuhud.
Yang paling menarik dari Ma’ri ini ialah kendati kecintaanya kepada ilmu
pengetahuiaan sangat tinggi itu terbukti ia meninggalkan Suriah dan
pindah kebagdad yang lebih urgen lagi ialah alas an ia meninggalkan
bagdad karena mendengar bahwa ibunya juatuh sakit kendati ia sudah
menjadi seorang tokoh ternama di bagdad ia tidak lupa kepada kampong
halamannya dan siapa yang membesarkannya. Pada pekan akhir bulan
ramadhan 400H/1010M, Ma’ari mualai melakukan perjalanan pulang dengan
melewati Mosul dan Mayyafariqin. Akan tetapi setibanya beliau di rumah
ia mendapati ibunya sudah tiada. Sungguh ia merasa terpukul untuk kedua
kalinya, yang kemudian perasaan sedihnya itu diekspresikan dalam sebuah
syair eliginya. Ia mengatakan lebih senang meninggal lebuh dahulu dari
ibunya karena merasa baktinya kepada ibunya belum tuntas. Tapi faktanya
sekarang penghiburan yang tersisa ia malah ingin dan berharap agar ia
bias dikubur dekat dengan ibunya. Setelah kejadian ini belia memutuskan
utuk mengucilkan diri dari masyarakat dari masyarakat luas dan melakukan
tiga hal yakni; mengucilkan diri layaknya seekor binatang, hijrah dari
dunia seperti seekor anak burung pergi darinduknya tanpa menikah dan
punya anak, dan mentap dikampung halamannya meskipun saat itu semua
penduduknya lari ketakutan karena serangan dari bangsa Romawi timur
(Bezantium).
Dalam urusan agama, ia sangat ortodok dalam artian sangat memegang teguh
prinsif hukum islam mengingat jalan yang ditempuh beliau adalah jalan
sufistik dan menjauhkan diri dari kegemerlapan duniawi. Dalam
masalah-masalah metafisika, seperti kebangkitan orang yang mati, atau
alam dan keabadian jiwa, ia berpandangan bahwa pemahaman manusia tidak
bisa menerapnya secara hakiki. Dalam salah satu puisinya, ia mengatakan
bahwa kaum Muslim, Kristen, Yahudi, dan Majusi semuanya mengikuti jalan
yang salah dalam presfektif tertentu. Menurutnya, ras manusia bisa
dibagi menjadi dua kelas, yaitu orang yang cerdas tetapi ragu-ragu dan
orang bodoh yang beriman. Meskipun pandangan terhadap islam diluar
kebiasaan, ia memiliki popularitas yang pantas dipertimbangkan. Ia
meninggal pada meninggal pada hari jum’an 2 Rabiul awal 449 H (9 Mei
1057 M).
Dalam Bal-i-jibril, Allamah M Iqbal mendramatisasi sebuah episode yang
menarik tentang Abu al-A’la al-Ma’ari. Yaitu, bahwa al-Ma’ari ada
seorang vegetarian dan tidak makan daging. Sekali waktu, seorang teman
al-Ma’ari mengirimnya ayam panggang. Hidangan dengan bumbu yang sedap
sangat menggiurkan. Namun, al-Ma’ari tidak memakannya. Sebaliknya, ia
justru berfilsafat dan menunjuk ke ayam hutan yang mati dipanggang itu,
begini:
“Hai burung malang, ceritakan kepadaku apa kesalahanmu sehingga engkau
dihukum seperti itu. Sayang skali, engkau bukanlah seekor burung elang,
dan kau tidak bisa memahami rahasia alam. Keputusan sang Penentu takdir
adalah bahwa kelemahan adalah kejahatan yang dapat dihukum dengan
kematian”
2. Karya-Karya Sastra Abu al-A’la al-Ma’ari
Kendati tunanetra sejak kanak-kanak, Abu al-A’la al-Ma’ari dengan
kekuatan memorinya yang luar biasa sangat sangat produktif menulis.
Ratusan karya sudah dihasilkannya, baik karya sastra puisi dan prosa,
maupun non sastra seperti komentar atau penjelasan terhadap karya sastra
orang lain dan masalah-masalah keagamaan. Namun saying semuanya tidak
sampai di generasi masa kini, karena sebagian besar hilang akibat
berkobarnya perang salib di Suriah. Muhammad Salim al-Jundi menyebut
satu persatu judul dari 97 judul tulisan Abu al-A’la al-Ma’ari. Hassan
ath-Thaibi mencatat tidak kurang dari 102 judul buku karya Abu al-A’la
al-Ma’ari dalam berbagai bentuk dan bidang, ketika ia menyunting dan
member penjelasan terhadap surat-surat pendeknya.
Sebenarnya, karya-karya Abu al-A’la al-Ma’ari sangat runtut dan
sistematis, satu dan lainnya berhubungan. Setiap menulis sebuah karya
sastra ia selalu menulis penjelasannya di lain kesempatan. Seperti ia
menilis buku “Rahatu’l-Luzum” dan “ar-Rahilah” untuk menjelaskan
karyanya Luzum ma la Yalzam. Meskipun sudah ada penjelasan, namun banyak
diantara pembacanya yang tetap mencerca dan mengafirkannya, sehingga
Abu al-A’la al-Ma’ari perlu membantah dengan menulis “Zajru’n-Nabih”.
Ketika buku ini masih belum biasa memuaskan pembacanya, maka ditulis
buku berjudul “Bahru’z-Zajar dan “Khuthbatu’l-Fashih”, kemudian “Tafsir
Khuthbatu’l-fashih”. Barangkali buku-buku penjelasan ini termasuk yang
lenyap akibat perang Salib dan tidak pernah sampai ke tangan pembaca
masa kini, sehingga para pengkaji tetap saja menganggap karyanya sebagai
karya yang sulit dicerna.
1. Karya Puisi
Karya-karya puisinya yang tercatat sejarah disusun dalam tiga antologi, yaitu:
a. Saqthu’z-Zand (percikan api dari kayu yang dibakar). Karya ini
adalah karya pertamanya yang sangat berlian yang mulai ditulis pada umur
yang masih belia, yaitu 11 tahun. Ini adalah satu-satunya karya yang
ditulis sebebelum melakukan perjalanan ke Bagdad, tetapi baru dibukukan
setelah pulang dari Bagdad, sehingga ada beberapa qashidah yang ditulis
saat berada di Bagdad dan sepulangnya di Ma’arrah yang dimasukkan ke
antologi ini. Koleksi puisi ini memuat reaksi penyair terhadap
pergolakan politik yang terjadi serentak di Surah. Pada waktu itu yang
berkuasa di Aleppo adalah Dinasti Hamdaniyah, yang berjaya semasa
kepemimpinan Saifu’d –Daulah. Setelah itu sedikit demi sedikit pamor
dinasti hamdaniyah pulai surut yang akhirnya hilang dan digantikan oleh
dinasti Mirdasiyah (1004-1094).
b. Ad-Dir’iyyat, sebuah antologi kecil memuat puisi-puisi yang khusus
mendeskripsiksn tentang baju besi. Dicetak di Mesir dan digabungkan
dengan Saqthu’z-Zand. Pakar Abu al-A’la dari Mesir Thaha Husain tidak
dapat menemukan argumentasi mengapa Abu al-A’lamemiliki perhatian
terhadap baju besi.
c. Luzum ma la Yalzam (keharusan yang tidak lazim) atau al-Luzumiyat,
merupakan moto Abu al-A’la di sebuah fase kehidupannya. Dinamakan
demikian karena Abu al-A’la konsisten dari tiga hal, yakni: Pertama,
bangunan kasidah perdasar pada semua kata kamus. Kedua, semua rawi
menggunakan tiga vokal kemudian konsonan. Ketiga, konsisten dalam
penggunaan vokal dan huruf-huruf dalam rawi yang tidak diharuskan oleh
ilmu ‘Arudh.
2. Karya Prosa
Adapun prosa-prosanya, sebenarnya jauh lebih banyak dari puisinya, akan
tetapi yang sampai pada tangan generasi masa kini hanya sedikit sekali.
Meskipun waktu telah menghilangkan sebagian besar jejak karyanya, akan
tetapi orangnya masih bisa dikenali.
a. Zajru’n-Nabih (mengusir yang menggonggong). Karya yang telah
hilang ini konon isinya adalah pembelaan diri penyair melawan serangan
orang-orang ortodoks terhadap bait-bait dalam Luzumiyat-nya sebagaimana
telah disinggung diatas. Namun ada bebrapa petikan dari karya ini yang
sudah diterbitkan setelah diedit oleh Amjad ath-Tharabulusi, Zajru’n
n-Nabih, Muktathafat, damaskus, 1965.
b. Al-Fushulu wa’l-Ghayat fi jamjidi’llah wa’l-Mawa’izh (pasal dan
paragraf dalam mengagungkan Allah dan nasehat-nasehat). Dinamai demikian
karna karya ini terdiri dari banyak pasal yang masing-masing diakhiri
dengan rima (qofiyah) secara Alfabetis, ada yang berakhir dengan
hamzah,, ba’ dan seterusnya. Karena karya ini berbentuk prosa berirama
yamg menyerupai surat dan ayat yang berisi nasehat-nasehat agama dan
moral, maka kemudian dituduh oleh para penulis sesudahnya sebagai bentuk
parodi dan pelecehan yang ingin menandingi al-Qur’an. Tuduhan ini tidah
beralasan bila mencermati di dalamnya banyak kata-kata pensucian kepada
Allah, perenungan akan ayat-ayatNya, permohomnan ampun dan pengakuan
kekuasaanNya. Karya ini mulai disusun sebelum sangh penyair melakukan
perjalanan ke Bagdad, dan diselesaikan setelah pulang kembali ke
Ma’arrah. Sayang, sebagian besar sudah hilang, adapun sebagian kecil
yang ditemukan kemudian diedit secara kritis oleh Mahmud Hasan Zanati
tahun 1938, yakni bagian awal sampai selesainya huruf kha’.
c. Rasailu Abu al-A’la al-Ma’arri. Yakni surat-surat yang ditulis
oleh sang penyair dalam brbagai kesempatan dan ditujukan kepada sebagian
orang keluarga, sahabat, pejabat dan lain-lain. Surat-surat ini disusun
dalam gaya bahasa yang sangat muluk, penuh dengan pepatah dan
sajak-sajak. Muncul dalam tiga edisi; pertama oleh Syahin ‘Athiya dan
Ahmad al-Azhari di Beirut, 1894, kedua oleh D.S Margoliouth, Oxford,
1898, dan ketiga oleh hasan ath-Thaibi, Beirut, 2002.
3. Karya Non Fiksi
Selain seorang sastrawan-penyair, Abu al-A’la adalah seorang kritikus
sastra. Kritik-kritiknya sebagai berikut, baik itu yang tertulis dalam
karya sastra seperti risalatul gufran,juga dalam tulisannya sendiri
antara lain:
a. ‘Absatul-Walid, berupa penjelasan kritis terhadap antologi al-Buhturi dan telah dicetak di Damaskus,
b. Manarul Qa’if
c. Dzikro Habib, yakni penjelasan dan komentar terhadap antologi Hamasah karya abu Tamam.
d. Kitabul Aik wal-Ghushun, yaitu ensiklopedi ilmu dan sastra yang
terdiri dari seratus jilid, akan tetapi semuanya dimakan zaman.
Abu al-A’la al-Ma’ari tidak pernah keluar lagi dari rumahnya. Memang
pintu rumahnya selalu dibuka, bukan penghuninya akan keluar, tetapi
karena banyak pengunjung yang ingin menemuinya. Orang-orang dari
berbagai penjuru negri mendatanginya untuk belajar dan menyerap
ilmu-ilmunya, atau sekedar mengajaknya berdiskusi. Banyak pula dari
kalangan pejabat yang berkorespondensi dengannya. Para pengembara yang
melewati Ma’arrah juga sering menyempatkan diri mengunjunginya. Rumah
yang ia inginkan menjadi penjara, akhirnya berubah menjadi rumah untuk
belajar yang sangat ramai, tempat orang-orang menimba ilmu. Tak
terhitung jumlah orang yang sempat mengunjunginya, dari berbagai
profesi; ada hakim, imam, khatib, ilmuan, ulama’ agama, sastrawan dan
lain-lain. Kalau ada waktu luang, ketika tidak ada orang yang dating
berkunjung, maka ia memanfaatkannya untuk beribadah dan merenungkan
jalan kehidupannya.
Sejak kepulangannya dari Bagdad sampai menunggal, selama 49 tahun, ia
tidak pernah lagi meninggalkan Ma’arratu’n-Nu’man meskipun ada tawaran
dari khalifah Fathimiayah untuk tinggal di Mesir. Untuk keputusannya
itu, ia menyebut dirinya dengan julukan Rahunu’l-Mahbisain
(narapidanadan penjara); penjara kebutaannya dan penjara rumahnya.
Bahkan ia juga mengatakan dalam bait puisinya, bahwa sebenarnya bukan
hanya dua penjara tapi tiga penjara, yakni: kebutaannya, pengucilan
dirinya dan keterkungkungan jiwanya dalam tubuh yang kotor.
أرني في الثلاثة من سجوني# فلا تسأل عن الخبر النبيث
لفقدى ناظرى ولزوم بيتي # وكون النفس فى الجسم الخبيث
Artinya; Aku lihat diriku berada dalam
tiga penjara, Jangan Tanya tentang berita yang rahasia yakni aku
kehilangan pengelihatanku, aku mengunci diri dirumahku dan jiwaku yang
berada dalam jasad yang kotor ini.
Dari bait puisi singkat diatas merupakan sebuah bentuk pengakuan sang
penyair terhadap realitas kehidupanya pada masa lalu ia berintropeksi
diri atas segala kesalahannya terutama mengenai kepergian ibunya menuju
rahmatnya walau saat itu a sedang menuju pulang ke kampungnya untuk
menemui ibunya sekembalinya menuntut ilmu di bagdad irak sebagai pusat
ilmu penetahuaan terutama kota kufah dan basrah.
0 komentar:
Posting Komentar