Ebiet G. Ade (lahir di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah, 21 April1954; umur 58 tahun) adalah seorang penyanyi dan penulis lagu berkewarganegaraan Indonesia. Ebiet dikenal dengan lagu-lagunya yang bertemakan alam dan duka derita kelompok tersisih. Lewat lagu-lagunya yang ber-genre balada, pada awal kariernya, ia 'memotret' suasana kehidupan Indonesia pada akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Tema lagunya beragam, tidak hanya tentang cinta,
tetap ada juga lagu-lagu bertemakan alam, sosial-politik, bencana,
religius, keluarga, dll. Sentuhan musiknya sempat mendorong pembaruan
pada dunia musik popIndonesia. Semua lagu
ditulisnya sendiri, ia tidak pernah menyanyikan lagu yang diciptakan
orang lain, kecuali lagu "Surat dari Desa" yang ditulis oleh Oding Arnaldi dan Mengarungi Keberkahan Tuhan yang ditulis bersama dengan PresidenSusilo Bambang Yudhoyono.
Kehidupan pribadi
Terlahir dengan nama Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far di Wanadadi, Banjarnegara[1], merupakan anak termuda dari 6 bersaudara, anak Aboe Dja'far, seorang PNS, dan Saodah, seorang pedagang kain. Dulu ia memendam banyak cita-cita, seperti insinyur, dokter, pelukis.
Semuanya melenceng, Ebiet malah jadi penyanyi -- kendati ia lebih suka
disebut penyair karena latar belakangnya di dunia seni yang berawal dari
kepenyairan[2].
Setelah lulus SD, Ebiet masuk PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) Banjarnegara. Sayangnya ia tidak betah sehingga pindah ke Yogyakarta. Sekolah di SMP Muhammadiyah 3 dan melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Di sana ia aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia). Namun, ia tidak dapat melanjutkan kuliah ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
karena ketiadaan biaya. Ia lebih memilih bergabung dengan grup vokal
ketika ayahnya yang pensiunan memberinya opsi: Ebiet masuk FE UGM atau
kakaknya yang baru ujian lulus jadi sarjana di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.[3]
Nama Ebiet didapatnya dari pengalamannya kursus bahasa Inggris semasa SMA.
Gurunya orang asing, biasa memanggilnya Ebiet, mungkin karena mereka
mengucapkan A menjadi E. Terinspirasi dari tulisan Ebiet di bagian
punggung kaos merahnya, lama-lama ia lebih sering dipanggil Ebiet oleh
teman-temannya. Nama ayahnya digunakan sebagai nama belakang, disingkat
AD, kemudian ditulis Ade, sesuai bunyi penyebutannya, Ebiet G. Ade.
Kalau dipanjangkan, ditulis sebagai Ebiet Ghoffar Aboe Dja'far. [4][5]
Sering keluyuran tidak keruan, dulu Ebiet akrab dengan lingkungan seniman muda Yogyakarta pada tahun 1971.
Tampaknya, lingkungan inilah yang membentuk persiapan Ebiet untuk
mengorbit. Motivasi terbesar yang membangkitkan kreativitas penciptaan
karya-karyanya adalah ketika bersahabat dengan Emha Ainun Nadjib (penyair), Eko Tunas (cerpenis), dan E.H. Kartanegara (penulis). Malioboro
menjadi semacam rumah bagi Ebiet ketika kiprah kepenyairannya diolah,
karena pada masa itu banyak seniman yang berkumpul di sana.
Meski bisa membuat puisi,
ia mengaku tidak bisa apabila diminta sekedar mendeklamasikan puisi.
Dari ketidakmampuannya membaca puisi secara langsung itu, Ebiet mencari
cara agar tetap bisa membaca puisi dengan cara yang lain, tanpa harus
berdeklamasi. Caranya, dengan menggunakan musik. Musikalisasi puisi,
begitu istilah yang digunakan dalam lingkungan kepenyairan, seperti yang
banyak dilakukannya pada puisi-puisi Sapardi Djoko Damono.
Beberapa puisi Emha bahkan sering dilantunkan Ebiet dengan petikan
gitarnya. Walaupun begitu, ketika masuk dapur rekaman, tidak sebiji pun
syair Emha yang ikut dinyanyikannya. Hal itu terjadi karena ia pernah
diledek teman-temannya agar membuat lagu dari puisinya sendiri. Pacuan
semangat dari teman-temannya ini melecut Ebiet untuk melagukan
puisi-puisinya.
Ebiet pertama kali belajar gitar dari kakaknya, Ahmad Mukhodam, lalu belajar gitar di Yogyakarta dengan Kusbini. Semula ia hanya menyanyi dengan menggelar pentas seni di Senisono, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta dan juga di Jawa Tengah, memusikalisasikan puisi-puisi karya Emily Dickinson, Nobody,
dan mendapat tanggapan positif dari pemirsanya. Walau begitu ia masih
menganggap kegiataannya ini sebagai hobi belaka. Namun atas dorongan
para sahabat dekatnya dari PSK (Persada Studi Klub yang didirikan oleh Umbu Landu Paranggi)
dan juga temannya satu kos, akhirnya Ebiet bersedia juga maju ke dunia
belantika musik Nusantara. Setelah berkali-kali ditolak di berbagai
perusahaan rekam, akhirnya ia diterima di Jackson Record pada tahun 1979.[6]
Jika semula Ebiet enggan meninggalkan pondokannya yang tidak jauh
dari pondok keraton, maka fakta telah menunjuk jalan lurus baginya ke
Jakarta. Ia melalui rekaman demi rekaman dengan sukses. Sempat juga ia
melakukan rekaman di Filipina untuk mencapai hasil yang lebih baik, yakni album Camellia III. Tetapi, ia menolak merekam lagu-lagunya dalam bahasa Jepang, ketika ia mendapat kesempatan tampil di depan publik di sana.
Lagu-lagunya menjadi trend baru dalam khasana musik pop Indonesia.
Tak heran, Ebiet sempat merajai dunia musik pop Indonesia di kisaran
tahun 1979-1983. Sekitar 7 tahun Ebiet mengerjakan rekaman di Jackson Record. Pada tahun 1986, perusahaan rekam yang melambungkan namanya itu tutup dan Ebiet terpaksa keluar. Ia sempat mendirikan perusahaan rekam sendiri EGA Records, yang memproduksi 3 album, Menjaring Matahari, Sketsa Rembulan Emas, dan Seraut Wajah.
Ebiet adalah salah satu penyanyi yang mendukung album Kita Untuk Mereka, sebuah album yang dikeluarkan berkaitan dengan terjadinya tsunami 2004,
bersama dengan 57 musisi lainnya. Ia memang seorang penyanyi spesialis
tragedi, terbukti lagu-lagunya sering menjadi tema bencana.
Pada tahun 2007, ia mengeluarkan album baru berjudul In Love: 25th Anniversary (didukung oleh Anto Hoed),
setelah 5 tahun absen rekaman. Album itu sendiri adalah peringatan buat
ulang tahun pernikahan ke-25-nya, bersama pula 13 lagu lain yang masih
dalam aransemen lama. [7]
Kemunculan kembali Ebiet pada 28 September 2008 dalam acara Zona 80 di Metro TV cukup menjadi obat bagi para penggemarnya. Dengan dihadiri para sahabat di antaranya Eko Tunas, Ebiet G Ade membawakan lagu lama yang pernah popular pada dekade 80-an.
Singles
Sebagian besar lagu Ebiet G. Ade didasarkan tentang bencana. Di bulan
Juni 1978, ia menulis " Berita Kepada Kawan " setelah bencana gas
beracun di Dataran Tinggi Dieng. Pada tahun 1981, ia menulis " Sebuah Tragedi 1981 " mengenai tenggelamnya KMP Tampomas II di Kepulauan Masalembu. Setelah letusan Gunung Galunggung pada 1982, ia menulis " Untuk Kita Renungkan ". Lagu " Masih Ada Waktu " juga didasarkan saat kejadian kecelakaan kereta api Bintaro.
Keluarga
Menikah dengan Koespudji Rahayu Sugianto (atau lebih dikenal sebagai Yayuk Sugianto, kakak penyanyi Iis Sugianto) pada tanggal 4 Februari1982, ia dikaruniai 4 anak, 3 laki-laki dan 1 perempuan:
Abietyasakti "Abie" Ksatria Kinasih (lahir 8 Desember1982)
Aderaprabu "Dera" Lantip Trengginas (lahir 6 Januari1986)
Byatriasa "Yayas" Pakarti Linuwih (lahir 6 April1987)
Anak sulung Ebiet, Abie juga memiliki bakat musik, dan sering mewakili Ebiet dalam mengecek sound system menjelang ayahnya manggung. Anak keduanya pun sudah merambah ke dunia musik, dan dikenal dengan nama Adera
Ebiet juga seorang penggemar golf, namun sejak terjadinya bencana tsunami2004, ia tidak pernah lagi main golf.
Diskografi
Tidak seluruh album yang dikeluarkan Ebiet G. Ade berisi lagu baru.
Pada tahun-tahun terakhir, ia sering mengeluarkan rilis ulang lagu-lagu
lamanya, baik dengan aransemen asli maupun dengan aransemen ulang. Dan
pada tahun-tahun terakhir Ebiet banyak memilih berkolaborasi dengan
musisi-musisi berbakat.
Jumlah album kompilasinya yang dikeluarkan melebihi album studionya.
Sejauh ini terdapat sedikitnya 25 album kompilasinya yang diterbitkan
oleh berbagai perusahaan rekam.
Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto (lahir di Jakarta, 3 September1961; umur 51 tahun) adalah seorang Penyanyi beraliran balada dan Country yang menjadi salah satu legenda hidup di Indonesia.
Lewat lagu-lagunya, ia 'memotret' suasana sosial kehidupan Indonesia
pada akhir tahun 1970-an hingga sekarang, kehidupan dunia pada umumnya,
dan kehidupan itu sendiri. Kritik atas perilaku sekelompok orang
(seperti Wakil Rakyat, Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya Siang Seberang Istana, Lonteku), atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau kadang-kadang di luar Indonesia, seperti Ethiopia)
mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya. Namun demikian, Iwan Fals
tidak hanya menyanyikan lagu ciptaannya sendiri tetapi juga sejumlah
pencipta lain.
Iwan yang juga sempat aktif di kegiatan olahraga, pernah meraih gelar
Juara II Karate Tingkat Nasional dan Juara IV Karate Tingkat Nasional 1989,
sempat masuk pelatnas dan melatih karate di kampusnya, STP (Sekolah
Tinggi Publisistik). Iwan juga sempat menjadi kolumnis di beberapa
tabloid olah raga.
Kharisma seorang Iwan Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum
'akar rumput'. Kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang
tersebar di seluruh nusantara. Para penggemar fanatik Iwan Fals bahkan
mendirikan sebuah yayasan pada tanggal 16 Agustus 1999 yang disebut Yayasan Orang Indonesia atau biasa dikenal dengan seruan OI.
Yayasan ini mewadahi aktivitas para penggemar Iwan Fals. Hingga
sekarang kantor cabang OI dapat ditemui di setiap penjuru nusantara dan
beberapa bahkan sampai ke mancanegara.[rujukan?]
Biografi
Masa kecil Iwan Fals dihabiskan di Bandung, kemudian di Jeddah, Arab Saudi,
selama 8 bulan. Bakat musiknya makin terasah di usianya yang ke-13
tahun, saat Iwan banyak menghabiskan waktunya dengan mengamen di
Bandung. Bermain gitar
dilakukannya sejak masih muda bahkan ia mengamen untuk melatih
kemampuannya bergitar dan mencipta lagu. Ketika di SMP, Iwan menjadi
gitaris dalam paduan suara sekolah.
Selanjutnya, datang ajakan untuk mengadu nasib di Jakarta dari
seorang produser. Ia lalu menjual sepeda motornya untuk biaya membuat
master. Iwan rekaman album pertama bersama rekan-rekannya, Toto Gunarto,
Helmi, dan Bambang Bule yang tergabung dalam Amburadul, namun
album tersebut gagal di pasaran dan Iwan kembali menjalani profesi
sebagai pengamen. Album ini sekarang menjadi buruan para kolektor serta
fans fanatik Iwan Fals.
Setelah dapat juara di festival musik country, Iwan ikut festival lagu humor. Arwah Setiawan (almarhum), lagu-lagu humor milik Iwan sempat direkam bersama Pepeng, Krisna, dan Nana Krip serta diproduksi oleh ABC Records, tapi juga gagal dan hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. Sampai akhirnya, perjalanan Iwan bekerja sama dengan Musica Studio. Sebelum ke Musica, Iwan sudah rekaman sekitar 4-5 album. Di Musica, barulah lagu-lagu Iwan digarap lebih serius. Album Sarjana Muda, misalnya, musiknya ditangani oleh Willy Soemantri.
Iwan tetap menjalani profesinya sebagai pengamen. Ia mengamen dengan mendatangi rumah-rumah satu demi satu, kadang di Pasar Kaget atau Blok M.
Album Sarjana Muda ternyata banyak diminati dan Iwan mulai mendapatkan
berbagai tawaran untuk bernyanyi. Ia kemudian sempat masuk televisi
setelah tahun 1987. Saat acara Manasuka Siaran Niaga disiarkan di TVRI, lagu Oemar Bakri sempat ditayangkan di TVRI. Ketika anak kedua Iwan, Cikal lahir tahun 1985, kegiatan mengamen langsung dihentikan.
Selama Orde Baru,
banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh
aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing
kerusuhan. Pada awal kariernya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang
bertema kritikan terhadap pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa
dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman
yang memayungi Iwan Fals enggan atau lebih tepatnya tidak berani
memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas. Belakangan
Iwan Fals juga mengakui kalau pada saat itu dia sendiri juga tidak
tertarik untuk memasukkan lagu-lagu ini ke dalam album.[rujukan?]
§Pertanyaan pertama yang
harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah
seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin
mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena
ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
§Bagiku
sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi
suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
§
§Guru
yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu
benar, dan murid bukan kerbau.
§
§Nasib
terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang
tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
§
§Saya
memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap
kemunafikan.
§
§Mimpi saya yang
terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia
berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi
pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia
yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya
sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
§
§Saya ingin melihat
mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti
politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang
dewasa. Mereka
yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama,
ormas, atau golongan apapun.
§
§Masih
terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan,
tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi
dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka
akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam
tadi.
§
§Sejarah
dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada?
Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
§
§Bagiku
perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan,
terhadap segala-gala yang non humanis…
§
§Kita seolah-olah
merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan
pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
§
§Bagi saya KEBENARAN
biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan
kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
§
§Potonglah
kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan
padanya. Inilah kemerdekaan pers
di Indonesia.
§
§To be a human is to be
destroyed.
§
§Saya tak mau jadi pohon
bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
§
§Saya putuskan bahwa saya
akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
§
§I’m not an idealist
anymore, I’m a bitter realist.
§
§Saya kira saya tak bisa
lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
§
§Bagiku ada sesuatu yang
paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati,
dapat merasai kedukaan.
§
§Saya tak tahu mengapa,
Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan
arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya
diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra
tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan
yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat
menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada
anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
§
§Tak
ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun.
Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia
yang lebih baik.
§
Puisi Terakhir Soe Hok Gie
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.
Tapi, aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang
manis di lembah Mendalawangi.
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang.
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra.
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari sini, sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.